Profil Ratna Juwita Umiyasih

Ratna JuitaTernyata desa Grogol tak hanya ada di Jakarta Barat, tapi juga di dekat lapangan terbang Adisucipto. Di wilayah pinggiran Yogyakarta itulah lahir bayi perempuan, 4 Juni 1944, panggilan sehari-harinya Umi.

Masa kanak-kanak usia pendidikan SMP dijalaninya tanpa halangan sedikitpun. Meski dilubuknya yang paling dalam, ada yang menganjal, yakni ingin mengetahui wajah perempuan yang melahirkanya. "Takdir menghendaki saya harus berpisah dengan ibu sejak bayi", Ungkapnya dengan mata berkaca-kaca. Tinggal bersama Bapak,serta kakek nenek (simbah kakung-putri. Mbah jawa) dari pihak Bapak, tentulah melipur hatinya. Sebab, di masa perang kemerdekaan mengusir penjajah Belanda itu, kenangnya, "Mbah Putri mendekap saya erat-erat setiap ada pertempuran, seperti jadi tameng peluru. Yang penting Umi selamat.

Yang menggembirakan juga mengharukan, karena waktu itu cucu semata wayang, ia menjadi rebutan antara orang tua pihak bapak dengan pihak ibu. "sampai saya remaja saya tinggal bersama pihak bapak, tapi saya tetap dekat dengan pihak ibu", kenangnya. bahkan ada semacam "perjanjian" yaitu jika Umi menikah maka pihak ibu yang berhak menyelengarakannya.

Surat pertama
Lulus SMP tentu saja atas izin Nenek-yang telah mengontak anak perempunnya untuk menampung kehadiran cucu kesayangannya, "saya memberanikan diri kejakarta, mau cari pengalaman. Tinggal dirumah Tante, di jalan Talang Betutu," tutur Umi.

Pendidikan dilanjutkanya disekolah keputrian. dan untuk mengisi waktu luang, ia mengikuti kursus-kursus. Uniknya kursus tersebut dijalaninya tanpa membayar. Lho, bagaimana mungkin?
Rupanya kehidupan jakarta secara langsung mengasah <i>sense of business</i> remaja putri - yang dari nama lengkapnya Ratna Juwita Umiyasih Rejeki, kayaknya dekat dengan "bakat dagang" jika bukan karena pernah dialami, makin sulit dipercaya, "saya ikut kursus biayanya Rp. 2000 untuk satu mata pelajaran. Besoknya saya buka kursus di garasi rumah dengan ongkos yang sama. Jumlah murid saya kan banyak jadi untung, Nah dari keuntungan itulah saya mengikuti pelajaran lain".

Hasilnya jelas, berbagai keterampilan wanita ia kuasai: merias rambut, tata kecantikan, jahit-menjahit, masak-memasak, dan lain-lain. "Yang juga penting, saya memperoleh ilmu dagang dari teman-teman kursus keturunan tionghoa. Diantaranya, cara menyimpan dan memutar uang," ungkapnya terus terang. "Tapi, yang jelek-jeleknya nggak saya ikutin lho." tambahnya seraya tertawa.

Masa itu, rupanya wanita yang mampu berkiprah dinamis-khususnya dibidang perdagangan-masih sedikit. Tanpa sangat berarti, selain kursus Umi juga jual-beli pakaian jadi. Caranya "Ngalap Nyaur, ambil barang bayar belakangan". ujarnya, ditawarkan secara kredit pembelinya para tetangga, lumayan laku.

Dengan kegiatan semacam itu, tak cuma bisa memberi uang jajan keponakan, juga kebutuhan sehari-hari terpenuhi, dan tabungannya terus bertambah. apalagi gaya hidup gadis remaja ini hemat, tidak pernah macam-macam alias neko-neko Rambutnya panjang, disisir ke belakang dan dikepang satu justru menambah daya tarik.

Seperti biasa dia menyetor uang sekaligus mengambil barang dagangan dirumah agen langgananya. karena hampir malam, si empunya rumah meminta tolong kepada adiknya -seorang jejaka, namanya Noorsalim- untuk mengantarkan Umi. "Mas Noor disuruh kakaknya untuk mengantar saya pulang, sejak itu getaran magnet mulai terasa hehehe," kenangnya merasa lucu, setelah itu. "Mas Noor pinjam buku, eh ketika dikembalikan ada surat didalamnya, aduh deg-deg-an rasanya saat pertama membuka surat dari laki-laki," tambahnya sambil tertawa lagi.

Beberapa lama saling mencocokan diri, akhirnya Umi dan Noor Salim sepakat mengarungi bahtera perkawinan. Dan, sesuai perjanjian, nenek dari pihak ibu yang menyelenggarakan pestanya, di Yogya. "Simbah cukup terpandang di desa kami, itu berkat usaha ayam goreng yang sudah dikenal dimana-mana. Tamu-tamunya datang begitu banyak, malahan dari keraton Yogya pun hadir." Ceritanya dengan mata berbinar, Ya kala itu nama Mbok Berek jaminan cita rasa khas ayam goreng di tlatah jawa tengah bahkan jakarta.

Di hari bersejarah itu Umi menerima kado pribadi dari simbahnya, yaitu resep mengolah ayam goreng, "itu hadiah istimewa buat saya, yang paling bermakna. Lagipula simbah berpesan, kalau hanya kebutuhan sehari-hari kamu bisa hidup dari menjual ayam goreng," kenangnya haru campur bungah.

Anak Digaji
Pasutri (pasangan suami-istri)muda ini kembali ke Jakarta menumpang dirumah salah seorang bibi di Rawamangun, "kami sepakat susah senang ditanggung bersama saya tidak suka menjadi istri yang cuma bisa ngomel dan menadahkan tangan saja". terang Umi. Dia seperti srikandi, memang trengginas. "Dengan gaji suami yang tidak seberapa". ungkapnya tanpa ingin merendahkan penghasilan ataupun mengurangi rasa syukur."Saya tetap dagang cara ngalap nyaur, dan coba jualan ayam goreng mulai dari 5 ekor ayam perhari."

Usaha itu berjalan lancar, laris. Tabungan keluarga kecil ini tak hanya uang, juga perhiasan, namun meninggalnya Simbah yang amat dicintainya membuat Umi limbung. Bersama anak-anaknya dia berangkat ke Yogya, dan sekitar sebulan terpuruk dalam kesedihan tabungannya habis.

Kembali ke Jakarta. "ibaratnya saya mulai dari nol" kenangnya tapi tekadnya untuk bangkit semakin besar. Kepekaan bisnis yang dimilikinya membuatnya mampu menghitung laba-rugi usaha dengan cepat. Penghasilan suami satu bulan dibelikan perlengkap rumah tangga yang kemudian di kreditkan pada tetangga, dengan cicilan Rp. 50 perhari, hasil putar otak dan putar modal itu dilanjutkan meski pindah rumah.

Pasutri dengan empat orang anak ini mengontrak rumah petak didaerah menteng dalam, "Digang sempit dekat kuburan. Lantainya semen, untuk mandi mesti ke sumur umum" ungkapnya. perkembangan usaha yang semakin besar itu. cabang usahanya terus bertambah, membuat umi dan suaminya memikirkan ihwal manajemen profesional dan memutuskan mendirikan PT. "Saya ingat ketika sama mbah memberikan petuah memakai baju ungu. Maka itu perusahaan ini diberi nama Weling Simbah Wulung, disingkat WSW," tuturnya senyum semringah.

Yang unik meski kini kehidupan keluarga sudah mampu menikmati penghasilan yang teramat memadai. Umi tetap memperingatkan putra-putrinya bahwa usaha tersebut dirintis susah payah dan dalam waktu lama, sehingga mesti dijaga. Untuk anak-anaknya. Umi mengatakan "Kami sudah membuat komitmen siapa yang ikut berkecimpung dapat gaji dan bonus, tapi kalau tidak ikut hanya dapat bonus."

Arahan yang profesional itu didukung oleh suaminya. Noorsalim SH. Putra Kiai dari Blora ini menyatakan, "Harta yang kami punya sebanyak apapun titipan Allah," karena itu tak lupa mereka membersihkannya dengan zakat dan sodakoh, "ada hak anak yatim didalamnya, jadi mesti memikirkan kepentingan mereka," tambahnya yakin. Alhamdulillah.

Amanah 29 juni - 15 juli 1992

Artikel lain

  1. Ayam Desa Populer di Kota
  2. Ayam Kampung Masuk Kota
  3. Hemat dan Sederhana Selalu Saya Terapkan
  4. Motto Generasi Ke-3
  5. Motto Generasi Ke-4
  6. Profil Ratna Juwita Umiyasih
  7. Bermula dari Petuah Kakek Berbaju Ungu